Label

Tampilkan postingan dengan label Esai mini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai mini. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 Mei 2025

Manusia dan Kegemarannya Membuat Hidup Sendiri Jadi Rumit

 


Manusia adalah makhluk yang unik. Katanya paling pintar di antara semua ciptaan, tapi entah kenapa, seringkali justru terlihat paling bingung menjalani hidup. Sering menyebut diri rasional, namun tak jarang mengambil keputusan hanya karena emosi sesaat—demi harga diri, demi gengsi, demi validasi dari orang yang bahkan tidak terlalu peduli.

Manusia juga gemar mempersulit diri sendiri. Padahal bisa sederhana, tapi selalu ingin yang rumit. Bisa bahagia dengan cukup, tapi justru mengejar lebih, lalu kecewa karena tak pernah merasa cukup. Dan ketika rasa cukup itu akhirnya datang, manusia justru takut kehilangan, lalu kembali merasa kurang.

Satu hal yang cukup konsisten dari sifat manusia: suka merasa paling tahu. Tentang hidup orang lain, tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Padahal, mengenali diri sendiri saja masih setengah-setengah. Tapi tak apa—karena mengomentari orang lain memang jauh lebih mudah ketimbang bercermin.

Manusia juga pandai sekali membela diri. Kalau sukses, semua karena kerja kerasnya. Tapi kalau gagal? Pasti karena orang lain, sistem, atau “takdir yang kurang berpihak.” Seolah-olah hidup ini hanya akan masuk akal jika hasil akhirnya sesuai keinginannya.

Akhirnya, semua ini membuat satu kesimpulan sederhana: manusia memang begitu. Penuh kontradiksi. Menginginkan kedamaian tapi memelihara konflik. Mencari cinta tapi takut membuka hati. Ingin dimengerti tapi malas memahami. Dan dalam semua kekacauan itu, manusia tetap merasa hebat—karena katanya “ini bagian dari proses bertumbuh.”

Ironis, ya. Tapi begitulah manusia.

 

Selasa, 29 April 2025

INDAH LUKA KIAN MENAWAR




Ada luka-luka yang tidak memilih untuk tinggal. Mereka datang tanpa permisi, menggores tanpa aba-aba, lalu menetap dalam diam. Kita mengira luka hanya tentang rasa sakit yang menghitam. Padahal, ada luka yang perlahan, anehnya, justru mengajari kita tentang keindahan: tentang betapa kuatnya hati yang pernah patah, tentang betapa luasnya jiwa yang pernah retak.


Semakin hari, luka itu bukannya pergi. Ia tetap ada, tapi rasanya kian menawar. Tidak lagi setajam dulu, tidak lagi menusuk dalam sunyi. Seperti air laut yang ditarik perlahan oleh pasang surut, luka itu mundur sedikit demi sedikit, memberi ruang bagi ketenangan untuk kembali bernapas.


Mungkin kita tak pernah benar-benar sembuh. Tapi kita belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa. Kita tahu cara berjalan tanpa lagi pincang. Kita tahu kapan harus berhenti, kapan harus melangkah dengan penuh pertimbangan.


Ada keindahan dalam bertahan. Ada puisi dalam setiap perih yang berubah menjadi pelajaran. Ada keajaiban kecil dalam setiap pagi yang kita lalui tanpa air mata. Luka itu, kini bukan lagi ancaman. Ia berubah menjadi lukisan—sebuah karya agung tentang keberanian, kehilangan, dan harapan.


Indah luka kian menawar, sebab di balik setiap rasa sakit, ada versi diri kita yang lebih kuat sedang menunggu untuk lahir.

Jumat, 25 April 2025

Mengenal Tuhan Lebih Dalam: Bukan Cuma Soal Hafalan, Tapi Soal Rasa



Jujur aja, dulu aku pikir mengenal Allah itu ya sebatas tahu 99 nama-Nya, bisa ngaji lancar, dan rajin salat lima waktu. Pokoknya yang penting “checklist” ibadah jalan, beres deh. Tapi ternyata… makin ke sini, makin sadar, kalau mengenal Allah tuh jauh lebih dari sekadar rutinitas atau formalitas.


Ada masa di hidupku yang bikin aku benar-benar bertanya, “Ya Allah, Engkau ada, kan?”—masa di mana doa nggak kunjung dijawab, masalah datang bertubi-tubi, dan hati rasanya kayak kosong banget meski aktivitas jalan terus. Nah, justru di situ aku mulai benar-benar mengenal Allah. Bukan dari teori, tapi dari rasa.


Allah itu bukan cuma Tuhan yang ‘di atas sana’, tapi Dia yang paling dekat. Bahkan lebih dekat dari urat leher, kata Al-Qur’an (QS. Qaf: 16). Tapi kadang, kita sendiri yang menjauh. Kita yang sibuk cari pelarian ke mana-mana, padahal jawaban ada di sajadah yang lama kita tinggalin.


Mengenal Allah lewat Islam itu indah banget. Ada momen-momen kecil yang bikin aku makin yakin: kayak tenangnya hati setelah istighfar, damainya malam setelah tahajud meskipun cuma dua rakaat, atau rasa plong setelah ngeluh habis-habisan ke Allah lewat doa. Aku mulai paham, ternyata Allah bukan Tuhan yang harus selalu aku “takuti” doang, tapi juga Tuhan yang bisa jadi tempat paling aman buat pulang.


Dan Allah tuh sabar banget. Kita bolak-balik khilaf, tapi Dia tetap buka pintu taubat. Dia ngerti kalau kita manusia biasa, yang kadang lelah, kadang hilang arah, kadang males banget buat sekadar salat tepat waktu. Tapi Allah nggak ninggalin. Bahkan saat kita lupa, Dia tetap ngasih napas. Tetap ngasih kesempatan.


Mengenal Allah lebih dalam, buatku, adalah perjalanan. Bukan berarti harus jadi sempurna. Tapi jadi lebih sadar. Sadar bahwa hidup ini bukan cuma buat nyari dunia, tapi juga buat balik ke Dia—dengan versi terbaik diri kita. Bahkan kalau ‘versi terbaik’ itu masih sering berantakan.


Jadi sekarang, aku nggak ngejar Allah karena takut neraka doang. Tapi karena rindu. Karena aku tahu, cuma sama Allah aku bisa ngerasa utuh, meski dunia ini seringkali bikin patah.

Selasa, 22 April 2025

Hal-Hal yang Sering Terlupa


Kadang kita terlalu sibuk mikirin hal-hal besar, sampai lupa betapa berharganya hal-hal yang kelihatannya sepele.

Seperti... masih bisa tarik napas tanpa susah payah. Masih bisa duduk santai sambil hirup udara pagi yang segar. Padahal, ada orang di luar sana yang bahkan butuh alat bantu buat sekadar bernapas.

Atau soal makanan. Kita mungkin sering ngeluh, “Aduh, bosen makan ini terus.” Tapi kita lupa, kita masih bisa makan enak, masih bisa milih mau makan apa, masih punya perut yang terisi. Bukan cuman isi perutnya, tapi juga rasa syukurnya yang kadang hilang entah ke mana.

Dan yang paling ngena: masih bisa ketemu orang-orang yang kita sayang. Masih bisa lihat wajah mereka langsung, bukan cuma lewat layar. Masih bisa peluk, bisa ngobrol sambil tatap mata. Itu tuh, hal yang baru kerasa penting waktu kita nggak bisa ngelakuin lagi.

Jadi ya... kalau hari ini kamu masih bisa napas lega, makan kenyang, dan lihat orang yang kamu sayang—itu udah luar biasa. Mungkin kita nggak punya semua yang kita mau, tapi kita masih punya hal-hal yang nggak bisa dibeli.


Dan itu, menurutku, udah cukup buat bersyukur..