Selasa, 29 April 2025

INDAH LUKA KIAN MENAWAR




Ada luka-luka yang tidak memilih untuk tinggal. Mereka datang tanpa permisi, menggores tanpa aba-aba, lalu menetap dalam diam. Kita mengira luka hanya tentang rasa sakit yang menghitam. Padahal, ada luka yang perlahan, anehnya, justru mengajari kita tentang keindahan: tentang betapa kuatnya hati yang pernah patah, tentang betapa luasnya jiwa yang pernah retak.


Semakin hari, luka itu bukannya pergi. Ia tetap ada, tapi rasanya kian menawar. Tidak lagi setajam dulu, tidak lagi menusuk dalam sunyi. Seperti air laut yang ditarik perlahan oleh pasang surut, luka itu mundur sedikit demi sedikit, memberi ruang bagi ketenangan untuk kembali bernapas.


Mungkin kita tak pernah benar-benar sembuh. Tapi kita belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa. Kita tahu cara berjalan tanpa lagi pincang. Kita tahu kapan harus berhenti, kapan harus melangkah dengan penuh pertimbangan.


Ada keindahan dalam bertahan. Ada puisi dalam setiap perih yang berubah menjadi pelajaran. Ada keajaiban kecil dalam setiap pagi yang kita lalui tanpa air mata. Luka itu, kini bukan lagi ancaman. Ia berubah menjadi lukisan—sebuah karya agung tentang keberanian, kehilangan, dan harapan.


Indah luka kian menawar, sebab di balik setiap rasa sakit, ada versi diri kita yang lebih kuat sedang menunggu untuk lahir.

Jumat, 25 April 2025

Mengenal Tuhan Lebih Dalam: Bukan Cuma Soal Hafalan, Tapi Soal Rasa



Jujur aja, dulu aku pikir mengenal Allah itu ya sebatas tahu 99 nama-Nya, bisa ngaji lancar, dan rajin salat lima waktu. Pokoknya yang penting “checklist” ibadah jalan, beres deh. Tapi ternyata… makin ke sini, makin sadar, kalau mengenal Allah tuh jauh lebih dari sekadar rutinitas atau formalitas.


Ada masa di hidupku yang bikin aku benar-benar bertanya, “Ya Allah, Engkau ada, kan?”—masa di mana doa nggak kunjung dijawab, masalah datang bertubi-tubi, dan hati rasanya kayak kosong banget meski aktivitas jalan terus. Nah, justru di situ aku mulai benar-benar mengenal Allah. Bukan dari teori, tapi dari rasa.


Allah itu bukan cuma Tuhan yang ‘di atas sana’, tapi Dia yang paling dekat. Bahkan lebih dekat dari urat leher, kata Al-Qur’an (QS. Qaf: 16). Tapi kadang, kita sendiri yang menjauh. Kita yang sibuk cari pelarian ke mana-mana, padahal jawaban ada di sajadah yang lama kita tinggalin.


Mengenal Allah lewat Islam itu indah banget. Ada momen-momen kecil yang bikin aku makin yakin: kayak tenangnya hati setelah istighfar, damainya malam setelah tahajud meskipun cuma dua rakaat, atau rasa plong setelah ngeluh habis-habisan ke Allah lewat doa. Aku mulai paham, ternyata Allah bukan Tuhan yang harus selalu aku “takuti” doang, tapi juga Tuhan yang bisa jadi tempat paling aman buat pulang.


Dan Allah tuh sabar banget. Kita bolak-balik khilaf, tapi Dia tetap buka pintu taubat. Dia ngerti kalau kita manusia biasa, yang kadang lelah, kadang hilang arah, kadang males banget buat sekadar salat tepat waktu. Tapi Allah nggak ninggalin. Bahkan saat kita lupa, Dia tetap ngasih napas. Tetap ngasih kesempatan.


Mengenal Allah lebih dalam, buatku, adalah perjalanan. Bukan berarti harus jadi sempurna. Tapi jadi lebih sadar. Sadar bahwa hidup ini bukan cuma buat nyari dunia, tapi juga buat balik ke Dia—dengan versi terbaik diri kita. Bahkan kalau ‘versi terbaik’ itu masih sering berantakan.


Jadi sekarang, aku nggak ngejar Allah karena takut neraka doang. Tapi karena rindu. Karena aku tahu, cuma sama Allah aku bisa ngerasa utuh, meski dunia ini seringkali bikin patah.

Selasa, 22 April 2025

Hal-Hal yang Sering Terlupa


Kadang kita terlalu sibuk mikirin hal-hal besar, sampai lupa betapa berharganya hal-hal yang kelihatannya sepele.

Seperti... masih bisa tarik napas tanpa susah payah. Masih bisa duduk santai sambil hirup udara pagi yang segar. Padahal, ada orang di luar sana yang bahkan butuh alat bantu buat sekadar bernapas.

Atau soal makanan. Kita mungkin sering ngeluh, “Aduh, bosen makan ini terus.” Tapi kita lupa, kita masih bisa makan enak, masih bisa milih mau makan apa, masih punya perut yang terisi. Bukan cuman isi perutnya, tapi juga rasa syukurnya yang kadang hilang entah ke mana.

Dan yang paling ngena: masih bisa ketemu orang-orang yang kita sayang. Masih bisa lihat wajah mereka langsung, bukan cuma lewat layar. Masih bisa peluk, bisa ngobrol sambil tatap mata. Itu tuh, hal yang baru kerasa penting waktu kita nggak bisa ngelakuin lagi.

Jadi ya... kalau hari ini kamu masih bisa napas lega, makan kenyang, dan lihat orang yang kamu sayang—itu udah luar biasa. Mungkin kita nggak punya semua yang kita mau, tapi kita masih punya hal-hal yang nggak bisa dibeli.


Dan itu, menurutku, udah cukup buat bersyukur..

Selasa, 15 April 2025

Hari ini aku bertahan

 

 


Hari ini tuh... awalnya bikin takut. 

Aku bangun dengan hati yang nggak tenang. Ada rasa cemas yang nggak bisa dijelasin, kayak ada sesuatu yang bakal salah, tapi nggak tahu apa. Mungkin karena kepikiran hal-hal yang belum selesai, atau bayangan tentang kejadian yang bisa aja bikin hati hancur. Tapi ya gitu... hari tetap berjalan, dan aku nggak punya pilihan selain ngejalaninnya juga.

Sepanjang hari aku sempat merasa capek. Bukan cuma fisik, tapi pikiran juga. Ada momen-momen yang bikin aku pengen mundur, pengen nyerah. Tapi ternyata... di sela-sela semuanya, ada hal-hal kecil yang justru jadi penyelamat. Kayak satu kejadian yang tiba-tiba nyentuh hati. Entah itu senyuman dari orang asing, kata-kata sederhana dari teman, atau cuma momen hening yang bikin aku sadar, “Hey, ternyata aku masih bisa ngerasain sesuatu. Aku belum mati rasa.”

Dan yang bikin makin lega... aku tadi sempat makan enak. Sesederhana itu. Tapi jujur, rasanya kayak dipeluk. Kayak ada yang bilang, “Kamu udah berusaha hari ini. Ini, buat kamu.”

Lucu ya, kadang hal-hal kecil bisa jadi penyemangat terbesar. Padahal sebelumnya aku sempat mikir hari ini bakal jadi hari buruk. Tapi ternyata aku bisa ngelewatin semuanya. Mungkin nggak sempurna. Mungkin masih ada sedihnya. Tapi aku berhasil sampai di malam ini. Dan itu artinya aku kuat.

Aku cuma mau bilang, kalau kamu ngerasa capek, takut, atau nggak yakin bisa ngejalanin hari... itu wajar. Tapi percaya deh, kamu jauh lebih kuat dari yang kamu pikir. Kadang kita cuma butuh satu langkah kecil buat bikin perubahan besar di hati kita.


Hari ini aku bertahan. Dan besok, aku mau coba lagi. :) 

Senin, 14 April 2025

Indonesia Makin Gelap

 

Kadang aku duduk sendiri dan mikir, sebenarnya negara ini sedang ke mana sih arahnya? Katanya kita sudah merdeka lebih dari 70 tahun, tapi kenapa rasanya seperti masih terjebak di tempat yang sama — atau malah lebih buruk? 
Hari demi hari, berita yang muncul di layar hape atau televisi cuma bikin geleng-geleng kepala. Korupsi? Udah kayak tradisi. Kasusnya bukan cuma kecil-kecilan, tapi kelas kakap. Kadang yang ketahuan malah orang yang selama ini sok bersih dan berkoar soal moralitas. Lucunya, rakyat cuma bisa marah sebentar, lalu lupa. 
Pernah nggak sih kalian ngerasa lelah jadi warga negara? Lelah melihat para pemimpin yang sibuk jaga citra, tapi lupa kerja nyata. Lelah karena aspirasi rakyat cuma dianggap tren medsos sesaat, tanpa benar-benar ditindaklanjuti. Lelah karena keadilan cuma berlaku buat mereka yang punya kuasa atau uang. 
Aku bukan siapa-siapa. Bukan politisi, bukan aktivis, bukan jurnalis. Aku cuma orang biasa yang masih berusaha hidup layak, jujur, dan tetap waras di tengah situasi yang makin absurd ini. Tapi setiap kali ngelihat ketidakadilan, rasanya kayak disiram air es — nyesss... dingin, tapi bikin sadar: kita nggak bisa diam. 
Aku jadi ingat bapakku.
Beliau dulu kerja keras banting tulang buat sekolahin anak-anaknya. 
Katanya, “Sekolah yang rajin, biar bisa bantu negara ini jadi lebih baik.” 
Dan aku percaya, dulu. Tapi sekarang, setelah lulus dan lihat kenyataan, aku bertanya-tanya: Apa benar sekolah tinggi bisa bantu negara? Atau kita malah dibikin pintar supaya nggak banyak protes?Susah nyari kerja. Yang punya koneksi lebih duluan masuk. Yang jujur kalah cepat sama yang ‘pintar main belakang’. Sementara rakyat kecil cuma bisa pasrah, atau kalau nekat protes, dibungkam dengan label “pengganggu ketertiban”.Tapi di balik semua keresahan ini, aku nggak sepenuhnya putus asa. Masih ada harapan — meski kecil. Harapan bahwa generasi kita, yang katanya lebih kritis dan sadar, bisa mulai gerak. Nggak perlu jadi politisi buat bantu negeri. Cukup dengan menyuarakan kebenaran, peduli, dan nggak cuek. 
Mulai dari hal kecil: 

• Berani bersuara kalau lihat ketidakadilan.

• Edukasi diri sendiri dan orang lain soal hak dan kewajiban.

• Jangan cuma ikut arus, tapi pelajari dan pahami kenapa kita bisa sampai di titik ini.

• Dukung gerakan dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.

• Aku tahu tulisan ini nggak akan langsung ubah keadaan. 

Tapi kalau kamu baca ini dan ngerasa yang sama, semoga ini bisa jadi pengingat bahwa kita nggak sendiri. Dan suara sekecil apapun, kalau disuarakan terus, bisa jadi gema yang kuat.

Negeriku, aku masih sayang padamu. Tapi jujur... aku juga kecewa. 

nb: repost from Medium 
 

Review Buku: Batu Berkaki


Jujur, awalnya aku pikir Batu Berkaki bakal jadi cerita thriller biasa, dengan pembunuhan misterius dan tokoh yang penuh rahasia. Tapi ternyata, ini lebih dalam dari itu. Buku ini bener-bener bikin mikir, karena nggak cuma fokus sama siapa pembunuhnya, tapi juga kenapa sih semua ini terjadi? Dan kenapa semua orang di desa itu seolah punya cerita tersembunyi yang nggak mau diceritakan?

Cerita dimulai dengan kematian Munarto, seorang pematung yang kaya dan terkenal. Yang bikin aneh, dia ditemukan tewas di depan patung karyanya yang cuma ada kaki, darah di mana-mana. Dan bukannya soal siapa yang bunuh dia, yang jadi pertanyaan adalah apa yang sebenarnya terjadi di desa itu? Setiap bagian cerita mengungkap sedikit demi sedikit tentang Munarto, desanya, dan banyak hal yang selama ini disembunyikan.

Yang menarik dari buku ini adalah cara penyampaian ceritanya. Alurnya mundur, dimulai dari hari Kamis dan kembali ke Senin. Awalnya sih agak bingung, tapi lama-lama aku malah ketagihan. Setiap hari yang diceritakan kayak ngasih clue yang bikin penasaran, dan justru itulah yang bikin cerita ini nggak bisa ditebak.

Satu hal yang aku suka adalah bagaimana Chandra nggabungin mitos lokal ke dalam cerita. Ular yang katanya bisa menculik bayi, legenda-legenda yang biasa kita denger dari orang tua, ternyata dipakai untuk manipulasi. Itu buat aku menarik banget, karena nggak cuma ngasih cerita misteri, tapi juga ngasih pandangan baru tentang bagaimana mitos bisa jadi alat buat kontrol sosial.

Kalau kamu suka cerita thriller dengan twist dan hal-hal yang nggak langsung kelihatan, Batu Berkaki ini cocok banget. Ceritanya nggak terlalu banyak aksi, tapi penuh dengan ketegangan yang dibangun perlahan. Dan yang paling keren, kamu bakal ngerasa kalau cerita ini bukan cuma soal pembunuhan, tapi soal masa lalu yang nggak pernah selesai. 

Sabtu, 12 April 2025

Review Buku: Tempo – Tan Malaka

Rating: 4.5/5 ⭐

Akhirnya baca juga salah satu seri Tempo yang udah lama bikin penasaran: Tan Malaka. Dan jujur, buku ini bikin aku mikir—kenapa nama sebesar Tan Malaka kayaknya jarang banget dibahas waktu sekolah dulu?

Buku ini bukan biografi lengkap, tapi semacam potret tajam tentang siapa Tan Malaka itu. Seorang pemikir, pejuang, pelarian, dan juga sosok yang sering dianggap “terlalu berbahaya” oleh banyak pihak—termasuk bangsanya sendiri. Gaya penulisannya khas Tempo banget: padat, kritis, dan nggak bertele-tele. Cocok buat yang pengin tahu sisi sejarah Indonesia yang nggak biasa.

Yang paling aku suka, buku ini nggak cuma cerita soal fakta sejarah, tapi juga menunjukkan dilema-dilema yang dihadapi Tan Malaka. Gimana dia terusir dari mana-mana, dicurigai di mana-mana, tapi tetap teguh sama cita-cita kemerdekaan. Rasanya campur aduk baca perjuangan dia yang sering kesepian, tapi tetap percaya sama gagasannya sendiri.

Minusnya? Karena ini bukan buku tebal, beberapa bagian soal pemikiran dia cuma disinggung singkat. Tapi justru bikin penasaran buat gali lebih jauh, mungkin lewat Madilog atau buku-buku lain.

Rekomendasi banget buat kamu yang pengin belajar sejarah Indonesia dari sudut pandang yang jarang disorot. Nggak terlalu berat, tapi tetap nendang secara isi dan emosi. 
Satu hal yang pasti: setelah baca ini, kamu nggak akan lihat sejarah Indonesia dengan cara yang sama lagi.